Tuesday, August 5, 2014

Bisnis Warung Burjo, Modal Nekat Gadai Sertifikat

warung burjo
Warung Burjo - Keberadaan usaha warung burjo DI YOGYAKARTA belakangan cukup menginspirasi karena keberhasilannya. Meski demikian, kisah sukses para pedagang asal Kuningan Jawa Barat itu jelas harus dicapai dengan usaha keras.
Tidak hanya harus bersaing dan menyesuaikan dengan bisnis lokal di Yogyakarta, pedagang warung burjo bahkan memulainya dari benar-benar nol. Kebanyakan pengusaha warung burjo asal Kuningan INImerupakan orang dari keluarga tidak mampu.
Alasan ini lah yang kemudian mengangkat semangat dan kerja keras mereka meski tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Selain Waruga yang dirintis oleh seorang berpendidikan sekolah dasar, pengusaha warung burjo LAINNYA, Ayep Anggi, juga terbilang sosok sederhana namun pekerja keras.
Di daerah Karangwuni, Jalan Kaliurang SLEMAN, pria yang akrab disapa "Asep" ini memiliki dua outlet warung burjo. Tidak hanya itu, di beberapa lokasi lain dekat kampus juga ada sejumlah outletnya.
Pada 2000-an, Asep masih seorang lulusan SMP yang nyaris tidak memiliki keahlian khusus. Sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dengan kondisi keluarga yang sederhana, DIA kemudian memutuskan untuk pergi ke Kota BANDUNG.
Di sana, Asep lajang bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik dengan gaji Rp 1 jutaan. Sebuah angka yang terbilang kecil jika dibandingkan tingkat kehidupan ekonomi di kota itu.
"Semua serba seadanya. Waktu itu saya numpang di sebuah rumah kontrakan bersama beberapa orang. Salah satu dari mereka itu penjual kopi. Ya, seperti warung burjo tapi kalau di Bandung atau JAKARTAsebutannya warung kopi (warkop)," kata Asep, ditemui di outletnya, Kamis (17/7).
Hidup berdampingan dengan seorang pedagang itu lah awal mula dia berpikir untuk nekat membuka usaha warung. Dikisahkannya, suatu hari Asep masuk ke kamar temannya yang seorang pedagang di warkop tersebut. Sungguh pemandangan mencengangkan ketika dia melihat rekannya menghitung uang dalam jumlah besar.
"Katanya itu laba berjualan kopi. Saya heran setengah terkejut kok bisa sebanyak itu. Jumlahnya Rp 6 jutaan, berkali lipat dari gaji saya di pabrik yang hanya Rp 1 jutaan. Itu sekitar 2003," ujarnya.
Alih profesi
Seiring waktu berjalan, Asep memikirkannya sebagai pertimbangan untuk alih profesi. Selama itu pula dia lebih detail mengamati cara berdagang rekannya tersebut. Suatu ketika dia memutuskan pulang ke Kuningan.
Beruntung saat itu seorang pamannya yang pedagang warung burjo di Yogyakarta memberi informasi soal peluang berdagang. Asep langsung mengiyakan meski tidak memiliki bekal atau pun modal usaha.
Menurut informasi pamannya itu, ada warung burjo yang hendak dijual. Lokasi beserta perangkat lengkap itu milik dua orang. Sebelum membelinya, Asep datang dan memeriksa lokasi jualan ke Yogyakarta.
"Saya kaget karena harga menu-menu makanan di Yogya jauh lebih murah dibanding Jakarta atau Bandung. Saya sempat "down" mendengarnya. Tapi kemudian semangat lagi setelah tahu di sini ramai karena kompleks kampus dan kos-kosan," tuturnya.
Kendala berikutnya adalah soal modal. Asep terpaksa meminta sertifikat orangtuanya di kampung untuk digadaikan sebagai modal. Permintaannya itu sempat ditentang orangtua. Meski demikian akhirnya Asep berhasil meyakinkannya.
Pada 2004, dia mantap membeli separo warung burjo itu dari salah seorang pemiliknya senilai Rp 8 JUTA. Dengan demikian, Asep hanya memiliki separuh kepemilikan warung itu, dijalankan bersama seorang pemilik lama. Setahun berjalan, dia merasakan laba yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Setidaknya per hari kenaikan pendapatan bersihnya Rp 125 ribu. Pada 2014, Asep akhirnya membeli separuh sisanya senilai Rp 10 juta. Sejak itu warung tersebut penuh menjadi miliknya. "Pelan tapi jelas. Setelah naik Rp 250 ribu per hari, LAMA-lama naik menjadi Rp 500 ribu per hari," ujarnya.
Menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya, Asep pun menambah menu nasi dan berbagai makanan pokok. Dalam setahun berikutnya, Asep bahkan berhasil menambah outletnya di daerah Gowok kompleks depan Ambarukmo PLAZA pada 2005.
Banyak OUTLET
Melihat pesatnya perkembangan usahanya itu, Asep berani menarget akan tambah satu lagi di tahun-tahun berikutnya. Outlet burjo di Karangwuni tetap berjalan. Segala kritikan dan masukan dari konsumen ditampungnya demi peningkatan pelayanan.
Sebagai bagian dari kekhasan pedagang asal Kuningan, Asep pun cekatan bergurau dengan masyarakat lokal yang menjadi konsumennya. "Mungkin kekhasan panggilan kami "Aa dan Teteh" juga menjadi kelebihan dalam hal pelayanan. Orang mudah kenal, dan kami selalu ingin ramah kepada pelanggan. Itu kunci, selain juga soal rasa," katanya.
Target Asep benar terealisasi. Pada 2006 outletnya bertambah lagi di daerah Karangmalang kompleks kampus UNY. Saat itu, dia bahkan sembari membuka usaha rental VCD di daerah Gamping.
Waktu-waktu berikutnya, outletnya kembali bertambah di sekitar kampus AMPTA di belakang Ambarukmo Plaza, dan pada 2011 lalu dia memiliki outlet warung burjo lain di sekitar kampus Amikom Ringroad utara.
Ada pengalaman paling berkesan yang bahkan sampai saat ini dipastikan tidak akan lepas dari hidupnya. Pengalaman berbaur dengan masyarakat lokal selama ini bahkan membuatnya menikah dengan seorang gadis setempat. Kini, perempuan beruntung itu telah menjadi istrinya, dan keduanya dikaruniai dua anak.
"Saya bahkan sudah ber-KTP sini tidak lama setelah menikah pada 2007. Outlet ini juga sekaligus rumah istri saya. Saya warga sini sekarang. Semua juga hapal dengan saya di sini," katanya sembari tertawa lebar.
Asep mengaku sudah merasa sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta. Praktis, masa depannya pun tertambat di kota pelajar ini. Terlebih, berpikir soal anak-anaknya, menurut Asep, pendidikan di Yogyakarta sangat bagus, ditambah keramahan masyarakatnya, serta kenyamanan dan keamanan di kota ini membuatnya betah menetap.
Sumber (Tribunjogja.com)

1 comments:

  1. Admiring the time and effort you put into your blog and detailed information you offer!.. urus skt konstruksi murah

    ReplyDelete